Budaya wayang terus berkembang dari waktu ke waktu dan juga menjadi wahana informasi, propaganda, pendidikan, hiburan, pemahaman filosofis dan hiburan.
Menurut penelitian para ahli sejarah budaya, budaya wayang merupakan budaya asli Indonesia, khususnya di Pulau Jawa. Wayang sudah ada berabad-abad sebelum agama Hindu masuk ke Jawa.
Meskipun cerita wayang yang populer di masyarakat saat ini merupakan saduran dari karya sastra India yaitu Ramayana dan Mahabharata. Kedua cerita utama Wayang tersebut telah banyak mengalami perubahan dan penambahan agar sesuai dengan filosofi asli Indonesia. Adaptasi konsep filosofis ini juga terkait dengan pandangan filosofis Jawa tentang peran dewa dalam pewayangan.
Dewa wayang tidak lagi sempurna, tetapi seperti makhluk Tuhan lainnya, mereka terkadang bertindak salah dan dapat melakukan kesalahan. Kehadiran tokoh Panakawan dalam pewayangan memang sengaja diciptakan oleh para budayawan Indonesia (khususnya budayawan Jawa) untuk mendukung pemikiran filosofis bahwa tidak ada makhluk yang benar-benar baik di dunia ini, yang ada hanyalah makhluk yang benar-benar jahat.
Setiap makhluk selalu mengandung unsur baik dan jahat.
Sejarawan budaya Belanda Dr. GA. J. Hazeau menyatakan keyakinannya bahwa wayang adalah pertunjukan asli Jawa. Pengertian Wayang Dr. Hazeau adalah Walulang Inukir (kulit ukir) dan Anda bisa melihat pantulannya di layar. Oleh karena itu, wayang yang dimaksud tentunya wayang kulit seperti yang kita kenal sekarang.
Ada dua pendapat tentang asal usul wayang. Pertama, pendapat bahwa wayang berasal dan lahir pertama kali di Pulau Jawa, tepatnya di Jawa Timur. Pernyataan ini tidak hanya diikuti dan dikemukakan oleh para peneliti dan ahli Indonesia, tetapi juga merupakan hasil penelitian para peneliti Barat. Sarjana Barat dari kelompok ini termasuk Hazeau, Brandes, Kats, Rentse dan Kruyt.
Alasan Anda cukup kuat.
Kesenian wayang antara lain masih sangat erat kaitannya dengan realitas sosial budaya dan religi masyarakat Indonesia, khususnya masyarakat Jawa. Tokoh utama Panakawa, Wayang yaitu Semar, Gareng, Petruk, Bagong hanya ada di Wayang Indonesia, tidak di negara lain. Selain itu, nama wayang dan istilah teknisnya berasal dari bahasa Jawa (kuna) dan bukan dari bahasa lain.
Sedangkan pendapat lain menyebutkan bahwa wayang berasal dari India, dibawa ke india dengan agama Hindu.
Ini termasuk Pichel, Hidding, Krom, Poensen, Goslings dan Rassers. Sebagian besar kelompok kedua ini adalah sarjana dari Inggris, negara Eropa yang pernah menjajah India.
Namun, sejak tahun 1950-an buku-buku wayang seakan sepakat bahwa wayang berasal dari pulau Jawa dan sama sekali tidak didatangkan dari negara lain. Budaya wayang mungkin berasal dari Indonesia setidaknya pada masa pemerintahan Raja Airlangga (976-1012), raja Kahuripan, yaitu. ketika Kerajaan Jawa Timur makmur. Karya sastra yang menjadi jalinan cerita wayang telah ditulis oleh para penyair Indonesia sejak abad ke-11. Salah satu tulisan pada masa pemerintahan Raja Dyah Balitung (989-910) adalah teks sastra Jawa kuno Ramayana Kakawin, yang merupakan gubahan Ramayana karya pujangga India Valmiki.
Selain itu, pujangga Jawa tidak hanya menerjemahkan Ramayana dan Mahabharata ke dalam bahasa Jawa kuno, tetapi juga menyusun dan meriwayatkannya dengan memasukkan filosofi Jawa.
Misalnya karya Empu Kanwa Arjunawiwaha Kakawini yang merupakan gubahan berdasarkan Mahabharata. Gubahan lain yang jauh berbeda dengan versi asli India adalah Baratayuda Kakawi karya Empu Sedah dan Empu Panuluh. Mahakarya ini ditulis pada masa pemerintahan Raja Prabu Jayabaya dari Kedir (1130-1160) tentang lahirnya budaya wayang di Ir. Sri Mulyono, dalam bukunya Symbolism and Mysticism in Wayang (1979), memperkirakan wayang berasal dari masa Neolitikum, sekitar tahun 1500 SM. SM, ada. Pendapatnya didasarkan pada Ph.D dari Robert von Heine-Geldern, Prehistoric Research in the Dutch East Indies (1945) dan Prof. KAH Tersembunyi dalam Ensiklopedia Indonesia halaman 987.
Kata “wayang” mungkin berasal dari kata “wewayangan” yang berarti bayangan. Asumsi ini sesuai dengan realitas pementasan Wayang Kulit yang menggunakan layar, selembar kain, sebagai pembatas antara dalang yang memainkan wayang dengan penonton di belakang layar. Penonton mengikuti gerak wayang hanya melalui bayangan yang jatuh di layar. Saat itu pertunjukan wayang hanya diiringi oleh gamelan sederhana yang terdiri dari saron, totung (sejenis suling), dan manak.
Diyakini bahwa tidak ada jenis gamelan dan penyanyi lain pada masa itu.
Untuk membuat budaya wayang lebih Jawa, cerita wayang lain yang tidak berdasarkan kitab Ramayana dan Mahabarata diperkenalkan sejak masa awal Kerajaan Majapahit.
Sejak saat itu, cerita panji, yaitu cerita nenek moyang raja-raja Majapahit, diperkenalkan sebagai bentuk lain dari wayang. Cerita panji ini kemudian lebih banyak digunakan dalam pertunjukan wayang beber.
Beberapa cendekiawan muslim, termasuk Wali Sanga, melanjutkan tradisi membacakan cerita wayang. Mereka mulai bercerita tentang raja-raja Majapahit termasuk kisah Damarwulan.
Kedatangan Islam di Indonesia sejak abad ke-15 juga berdampak besar pada budaya wayang, khususnya konsep religi filosofi wayang.
Di awal abad ke-15, tepatnya saat itu
Kerajaan Demak mulai menggunakan lampu minyak berbentuk khusus yang disebut blencong dalam pertunjukan wayang kulit.
Sejak zaman Kartasura, susunan cerita wayang berdasarkan Ramayana dan Mahabharata semakin melenceng dari aslinya. Sejak saat itu, para pecinta wayang mengenal silsilah tokoh-tokoh wayang, termasuk sosok dewa yang diturunkan dari Nabi Adam.
Aspek ini berlanjut hingga sampai kepada raja-raja di Jawa. Dan masih menjadi terkenal, cerita bonekanya juga populer. menurut standar cerita dan cerita wayang carangan yang berada di luar garis standar. Selain itu, ada juga yang disebut game sempalan yang terlalu jauh dari cerita biasanya.
Bahkan, karena seni wayang begitu mengakar dalam budaya Indonesia, terjadi kerancuan antara cerita, legenda, dan sejarah wayang.
Jika orang India percaya bahwa cerita Mahabharata dan Ramayana benar-benar terjadi di negaranya, orang Jawa juga percaya bahwa cerita wayang benar-benar terjadi di pulau Jawa.
Wayang sebagai pertunjukan dan pertunjukan sudah ada sejak pemerintahan Raja Airlangga. Beberapa prasasti dari masa itu memuat kata "mawa-yang" dan "aringi", yang berarti teater boneka.
0 Komentar