Pemberian nama
Pemberian nama terhadap bayi dalam masyarakat Jawa pada umumnya dilakukan ketika bayi berumur lima hari. Upacara pemberian nama tersebut dinamakan sepasaran. Selain selamatan, dalam upacara ini juga disertai wungon atau lek-lekan yang berarti melek sampai menjelang pagi hari.
Kegiatan ini dimaksudkan untuk berjaga - jaga terhadap pengaruh jahat yang akan mengganggu keselamatan bayi. Wungon atau lek - lekan ini oleh masyarakat Jawa pada umumnya merupakan salah satu bentuk tapa brata sebagai sarana tercapainya cita - cita.
Masyarakat mempunyai kebiasaan sejak kelahiran bayi sampai bayi berumur tiga puluh lima hari. Di samping bayi biasanya diletakkan benda tertentu seperti pisau, cermin, dan tombak sewu yang terbuat dari sapu lidi dan di setiap lidi dipasang cabai besar merah, bawang merah, bawang putih dan lain - lain. Benda - benda tersebut dimaksudkan untuk mengusir pengaruh jahat yang menjadi pengganggu bayi.
Upacara sepasaran seperti kebiasaan orang Jawa yang kemukakan juga tercermin dalam salah satu lakon lahiran yaitu lakon Lahire Parikesit. Pemberian nama anak dalam masyarakat Jawa tidak hanya sekedar tanda untuk membedakan anak yang satu dengan yang lainnya.
Tetapi, juga sebagai pancaran cita - cita atau pengingat sesuatu. Dalam pemberian nama anak kurang lebih ada lima ragam yaitu :
pertama, sebagai petunjuk keluarga Dirjasaputra yang merupakan anak dari bapak Dirja. Kebiasaan ini biasanya terdapat dalam lakon lahiran seperti Arimbiatmaja, Panduputra, Bayutenaya, dan masih banyak lagi.
kedua, sebagai petunjuk wujud fisik anak lahir, seperti jangkung yang panjang dan Jeliteng karena kulitnya hitam. Ada beberapa tokoh di dalam wayang misalnya Kurnabarna karena telinganya, Pandu dikarenakan memilki wajah pucat, dan Kresna yang identik dengan warna kulit hitam.
Ketiga, sebagai pengingat waktu kelahiran, urutan anak, dan pengingat suatu kejadian pada waktu tertentu. Contoh nama yang menjadi pengingat pada waktu lahir misalnya, Senin, Riyadi, Sukra, dan Septianta.
Didalam lakon wayang misalnya Palguna yang berarti dilahirkan pada waktu bulan ketujuh atau biasa disebut Mangsa kepitu menurut perhitungan penanggalan saka.
Adapun contoh nama anak yang berfungsi sebagai petunjuk urutan anak misalnya Catur Bayu yang berarti anak keempat, Dwi Asmono yang berarti anak kedua, dan Trijono yang memiliki arti sebagai anak ketiga. Khusus ragam ini tidak terdapat di dalam wayang itu sendiri.
Contoh nama sebagai pengingat suatu kejadian atau keadaan tertentu misalnya Prihatin yang berarti pada saat melahirkan, orang tua sedang menderita. Yatiman karena pada saat lahir sang ayah meninggal dunia.
Manipolwati yang memiliki arti pada saat lahir sedang terjadi gencarnya diindoktrinasikan faham Manifesto politik pada masa Orde Lama. Herlambang dikarenakan pada waktu lahir bersamaan dengan terjadinya banjir.
Ada beberapa tokoh wayang yang mempunyai arti nama yang bersamaan dengan bencana alam antara lain, Jaka Maruta yang lahir bersamaan dengan angin ribut, Rahwana karena pada waktu lahir bersamaan dengan hujan darah, dan Karna yang terlahir melalui lubang telinga.
Keempat, nama yang memiliki arti sebagai ungkapan cita - cita atau harapan misalnya, Hartana yang memiliki harapan supaya kaya akan harta, Slamet yang harapannya supaya selamat dimanapun dan kapanpun, Rahayu yang juga memiliki harapan untuk selamat, Rahmadi yang bermakna supaya selalu mendapat rahmat yang baik.
Didalam wayang antara lain adalah Kurupati yang diharapkan sebagai raja keturunan Kuru, Bratasena diharapkan sebagai senopati keturunan Barata, dan Narasoma yang dicita - citakan supaya anak mempunyai watak seperti bulan.
Dari uraian di atas ada makna ungkapan yang berbunyi "asma kinarya japa" bahwa pemberian nama kepada anak tidak hanya sekedar sebagai tanda pembeda tetapi juga mempunyai makna tertentu.
0 Komentar