MAKNA Perkawinan Bagi Masyarakat

 

MAKNA Perkawinan Bagi Masyarakat


Salah satu ungkapan budaya Jawa mengatakan bahwa panjang pendheking yuswa, pasthining jodho, lan tibaning kamulyan wus kajidhar wiwit jabang bayi lahir saka guwa garbaning biyung ( bahwa panjang pendek umur, kepastian jodoh, dan datangnya kemuliaan manusia itu sudah ditentukan oleh Tuhan ketika manusia lahir ke dunia ). Sehubungan dengan topik yang dibahas, ungkapan itu memberi petunjuk bahwa perkawinan dalam pandangan masyarakat Jawa merupakan hal yang sangat penting bagi kehidupan manusia.

Arti penting perkawinan ini dikuatkan dengan keyakinan bahwa jodoh seseorang sudah ditentukan oleh Tuhan saat ia lahir di Dunia. Perkawinan dipandang sebagai salah satu tujuan hidup. Perkawinan sebagai salah satu tujuan hidup bukan semata - mata untuk kepentingan aspek boilogis karena budaya Jawa menentukan norma yang disebut aja ngumbar hardaning asmara yang berarti jangan mengikuti nafsu birahi. Perbuatan zina dalam pandangan jawa dianggap terkutuk sehingga akan mendapat karma asap neraka atau dalam bahasa jawa disebut pacangane genining yomani. 

Ketika seseorang bercinta hanya untuk memuaskan nafsu maka akan berakibat buruk bagi diri sendiri, keturunan, dan orang lain. Hal demikian tergambar dalam lakon Alap - alapan Sukeksi , Kelahiran Dasamuka, Kumbakarna, Sarpakaneka, dan Wibisana merupakan gambaran pengendalian nafsu Wisrawa dan Sukeksi. Oleh karena itu pandangan jawa menganjurkan bahwa sebelum suami istri melakukan sanggama sebaiknya diawali dengan bersuci dan berdoa kepada Tuhan. 

Perkawinan dipandang sebagai peristiwa suci untuk mengemban amanah Tuhan. Hal ini tampak dari ungkapan wong tuwo dadi lantaraning tumuwuh yang artinya hanya sebagai sarana munculnya kehidupan baru. Orang tua sebagai lantaraning tumuwuh tidak mempunyai hak untuk menentukan tetapi, hanya sumarah sinawung pambudidaya ( berserah diri dengan tetap berusaha keras ). Itulah sebabnya suami istri yang mempunyai keturunan dipandang pinercaya nggaduh atau dipercaya Tuhan untuk bertanggung jawab membesarkan. 

Sedangkan yang tidak mempunyai keturunan dianggap kinasihan dening pangeran atau dikasihi oleh Tuhan. Perkawinan yang membuahkan keturunan hanya karena wenang nggaduh, dituntut untuk bertanggung jawab membesarkan dan mendidik agar menjadi anak yang berbudi luhur soleh maupun solehah. Jika tidak berhasil melaksanakan maka orang tua dianggap tua tuwas tuna uripe atau tua tidak bermakna dan merugikan hidupnya. 

Posting Komentar

0 Komentar